Dua nama ini adalah orang besar dalam sejarah. Aristoteles, hidup sekitar 300 tahun sebelum masehi, adalah filsuf yang bernama Socrates dan Plato meletakkan dasar-dasar filsafat barat. Pandangan aristoteles jadi dogma filsafat skolastik. Sementara siddharta Gautama adalah pangeran yang meninggalkan istana untuk menghayati derita dan duka kehidupan. Lewat kontemplasi dan semadi berkepanjangan di bawah pohon bodhi, ia jadi orang tercerahkan (Budha). Ia hidup sekitar 200 tahun sebelum aristoteles.
Kedua tokoh mempunyai system kepercayaan dan logika berbeda dalam memandang persoalan. Menarik mengkaji pendekatan mereka terhadap berbagai persoalan actual, khususnya yang controversial, seperti kasus bibit-chandra, anggodo, antasari, sri mulyani, atau susno duadji bahkan kasus video porno yang melibatkan para artis.
Kita coba mengkontraskan perbedaan kedua pendekatan. Dalam pandangan dunia, “ARISTOTELES” yang dikenal adalah “BIVALENSI”, dua nilai, benar atau salah, hitam atau putih, positif atau negative, siang atau malam, A atau Bukan A.
Tidak ada tempat untuk semu atau abu-abu, perbauran di antara keduanya. Sementara logika “BUDHA” atau “LOGIKA SAMAR” atau “FUZZY LOGIC” menerima adanya “MULTIVALENSI” atau banyak nilai. Di antara putih sampai hitam ada sekian banyak kemungkinan gradasi warna. Dari nol hingga angka 1 ada begitu banyak bilangan pecahan yang menggambarkan berbagai derajat perkembangan. ada celah yang sukar disebut siang atau malam ditengah remangnya senja atau samarnya fajar.
Logika Aristoteles lebih dominant diterima barat. Mereka lebih menghargai kepastian ditengah ketidak pastian seperti dalam aritmatik sederhana (2+2=4) dan kurang menghargai diksi atau paradoks. Namun, tak semua orang barat berpikir dalam kerangka dikotomi. Misalnya, heraclitus, filsuf yunani yang hidup 500 sebelum masehi. Ia dikenal dengan ucapannya “SEGALA SESUATU BERUBAH KECUALI PERUBAHAN ITU SENDIRI”.
Sebagian perubahan dapat diprediksi, sebagian lain berlansung acak, tak dapat dipahami atau dikenali. Epigram lain “SEGALA YANG BERTENTANGAN MENDATANGKAN MANFAAT” atau “JALAN TURUN DAN JALAN NAIK ADALAH SATU DAN SAMA”. Atau Einstein yang pernah mengutarakan “SEJAUH HUKUM MATEMATIKA MENUNJUK KE REALITAS, MAKA DIA TIDAK PASTI. DAN SEJAUH DIA PASTI, DIA TIDAK MERUJUK KE REALITAS”. Logika samara tampak dalam ungkapan diatas.
SIMPLISITAS ATAU AKURASI
Logika Budha atau “Fuzzy logic” lebih dulu dikenal dunia timur. Selain dalam ajaran budha juga ditemukan pada Zen dan Taoisme yang menyukai teka-teki dan paradoks kehidupan. Yin dan Yang bukan sekedar dua hal berbeda, melainkan satu keniscayaan yang saling melengkapi, komplementer. Dalam YIN ada YANG dan sebaliknya.
Oleh pengaruh pendidikan yang kita trima disekolah, kebanyakan kita lebih terbingkai dalam logika aristoteles. Kita perlu pegangan atau kepastian ditengah kegaulan agar hidup lebih lancer. Kalu perlu persoalan disederhanakan untuk menghindari keruwetan yang tak perlu. Buat sebagian, dimana eprsoalan sudah terang benderang seperti dalam aritmatika sederhana, sikap itu dapat dibenarkan. Namun untuk persoalan yang komplek dan penuh kontroversi seperti (bibit-chandra, sri mulyani, dll) pendekatan komprehensif dari berbagai kajian lebih menghasilkan presisi.
Sikap tidak berpihak, objektif untuk menemukan akurasi dengan berpegangan pada kepentingan umum agaknya perlu dikedepankan. Yang jadi persoalan, kata “kepentingan umum” sudah dikalaim pihak yang bersengketa. Kalau kita mulai memahami logika fuzzy, tampaknya orang tidak akan mudah terjebak dalam dikotomi yang gencar dikembangkan sebagian politisi.
Mereka lewat layar kaca atau media lain berusaha membentuk opini public berdasarkan sikap subjektif, apriori, perasaan suka atau tidak suka. Sudah tentu argumentasinya dibungkus lewat “data” dan “fakta” yang disaring lewat kacamata kelompok mereka sendiri.
Dengan “fuzzy logic”, kita akan lebih teliti dan kritis mengikuti rekam jejak mereka yang memakai standar ganda. Di satu pihak, mereka lantang menyerukan berantas korupsi khususnya yang disangkakan terhadap lawan politiknya. Sementara dipihak lain, mereka kuncup atau diam seribu bahasa jika tuduhan menimpa kelompoknya.
Secara ringkas, “BIVALENSI” dalam aristoteles bertumpu pada dua pilihan “ini” atau “itu”. Ibarat sebuat film, pelaku lelakonnya terbagi hanya dua “orang baik” atau “Orang jahat”.
Sementara “MULITVALENSI” dalam logika samara mencoba melihat nuansa-nuansa dalam menangkap kebenaran, ada “orang baik tetapi ada cacatnya” dan “ada orang jahat tetapi ada segi baiknya”. Tidak ada yang sempurna.
Fuzzy logic ini tidak hanya bergerak ditataran teori, system kepercayaan atau filsafat saja, melainkan membumi terkait dunia praktis yang menghasilkan produk-produk. Lewat prinsip dan system “FUZZY LOGIC” sejumlah perusahaan seperti Matsushita, Mitsubishi, Sharp, Hitachi, Samsung dan Daewoo telah mampu menghasilkan produk yang sanggup melakukan penyesuaian, tidak terbatas pada dua pilihan.
Sebenarnya kita ga bisa berpegangan pada satu pendapat saja. Ada persoalan2 yang mesti disamarkan dan ga langsung dinilai salah atau bener...
BalasHapus